Jumat, 04 November 2011

BIMBINGAN DAN KONSELING

Pandangan Bimbingan dan Konseling terhadap peserta didik adalah seorang individu yang mempunyai potensi untuk berkembang, sehingga pendidikan harus memberikan situasi yang kondusif bagi perkembangan potensi tersebut secara optimal.

Pengertian bimbingan dan konseling di sekolah belum begitu luas dipahami oleh para guru dan kepala sekolah. Beberapa hal yang menunjukkan itu antara lain:
  1. Masalah profesi konselor; profesi konselor sekolah belum begitu diakui. Profesi ini nampaknya sulit untuk mendapatkan pengakuan, karena bervariasinya pendidikan pembimbing serta background pendidikan pelamar konselor sekolah. Selain itu, guru-guru bidang studi yag diperbantukan sebagai pembimbing di sekolah hanya memiliki pengetahuan yang minim sekali mengenai bimbingan dan konseling.
  2. SK Pengangkatan; lulusan bimbingan dan konseling di sekolah menengah biasanya tidak diangkat sebagai guru pembimbing, akan tetapi, mereka di-SK-kan sebagai guru bidang studi pada sekolah tersebut. Bagaimana mungkin lulusan bimbingan dan konseling akan mengajar bidang study yang bukan backgroundnya, sedangkan mereka tidak dipersiapkan menjadi guru bidang study yang ditugaskan.
  3. Masalah sikap terhadap bimbingan dan konseling; tampaknya guru dan kepala sekolah masih mempunyai pandangan yang kaku mengenai bimbingan dan konseling di sekolah. Banyak di antara mereka yang beranggapan bahwa bimbingan dan konseling merupakan profesi yang mengurusi peserta didik pelanggar aturan. Guru pembimbing dianggap sebagai “polisi sekolah”. Dampaknya, guru pembimbing seakan-akan dijauh peserta didik dikarenakan stempel yang melekat pada pundak mereka. Akibat selanjutnya, bimbingan konseling kurang efektif dalam menanggulangi masalah-masalah peserta didik dan dianggap kurang memberikan konstribusi/mempunyai peranan yang kecil di sekolah.
Di samping masalah-masalah yang sulit dihadapi seperti uraian di atas, beberapa kesalahan mengenai bimbingan dan konseling dapat diungkapkan sebagai berikut, yaitu:
  1. Bimbingan identik dengan pendidikan; pengertian ini sangat keliru, dikarenakan bimbingan merupakan bagian dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa bimbingan dan konseling merupakan alat pendidikan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, yakni kedewasaan anak.
  2. Bimbingan dan konseling merupakan cara untuk membantu peserta didik yang salah suai (maladjustment) di mana peserta tidak memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri. Bimbingan dan konseling tidak hanya diberikan kepada anak yang salah suai, akan tetapi kepada semua peserta didik, termasuk peserta didik yang potensial.
  3. Bimbingan dan konseling berarti merupakan bimbingan pekerjaan dan karir; bimbingan dan konseling tidak hanya dalam hal karir atau pekerjaan, akan tetapi membantu peserta didik dalam segala aspek pribadinya.
  4. Bimbingan dan koseling merupakan usaha memberikan nasihat; bimbingan dan konseling bukanlah usaha untuk memberikan nasihat sebab, dalam nasehat, unsur paksaan sangatlah menonjol. Bimbingan dan konseling dimaksudkan untuk mamberikan kesempatan kepada individu untuk mencapai pemahaman diri di mana tidak ada unsur paksaan.
  5. Bimbingan menghendaki kepatuhan dalam perilaku; yang dikehendaki dalam bimbingan dan konseling bukanlah kepatuhan, melainkan penyesuaian diri yang baik. Kepatuhan tidak sama dengan penyesuaian diri.
  6. Bimbingan merupakan tugas para ahli; tidak semua tugas bimbingan adalah tugas para ahli, dalam tugas-tugas tertentu, seringkali wali kelas dan guru-guru lebih menonjol.
Mengenai pengertian bimbingan, banyak sekali dikemukakan oleh pakar-pakar bimbingan dan konseling. Bimbingan mencakup segala aspek kehidupan dengan tujuan membantu individu berkembang (to help people grow) sehingga mencapai keefektifan dalam hidup dirumah, sekolah, maupun masyarakat. Salah satu definisi dari bimbingan diungkapkan oleh Arthur J. Jones.

Arthur J. Jones (dalam Sofyan S. Willis, 2004: 11) menyatakan bahwa dalam proses bimbingan ada dua orang, yakni pembimbing dan yang dibimbing, di mana pembimbing membantu si terbimbing sehingga si terbimbing mampu membuat pilihan-pilihan, menyesuaikan diri, serta memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dari definisi ini dapat ditarik penafsiran sebagai berikut: (1) bimbingan diberikan kepada semua orang yang membutuhkan; sifatnya bukan paksaan, akan tetapi atas dasar kerelaan dan kesadaran individu, (2) dengan bimbingan, diharapkan individu dapat memilih dengan tepat sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama, moral masyarakat, dan peraturan-peraturan negara yang berlaku.

Beberapa karakteristik dari bimbingan antara lain: (1) bimbingan merupakan upaya yang bersifat preventif (pencegahan), (2) bimbingan dapat diberikan secara individual dan kelompok, dan (3) bimbingan dapat dilakukan oleh guru, pemimpin, ketua organisasi, dan sebagainya.

Asal mula pengertian konseling adalah untuk memberi nasihat. Seiring dengan kemajuan zaman, konseling didefinisikan sebagai upaya bantuan yang diberikan seorang pembimbing terlatih dan berpengalaman terhadap individu-individu yang membutuhkannya, agar individu tersebut berkembang potensinya secara optimal, mampu mengatasi masalahnya, dan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang selalu berubah (Sofyan S. Willis, 2004: 18).

Untuk mencapai tujuan konseling secara efektif, seorang konselor harus mampu melakukan beberapa hal, antara lain: (1) menangkap isu sentral/pesan utama klien, dan (2) mengutamakan tujuan klien (tujuan konseling).

Sumber:
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.

Rabu, 02 November 2011

PROSES PEMBELAJARAN

Secara umum, praktek pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok utama, yaitu: (1) praktek pembelajaran yang hanya menyampaikan materi saja, (2) praktek pembelajaran yang berangkat dari kondisi buatan, di mana kondisi diciptakan sedemikian rupa, sehingga peserta didik dapat melakukan berbagai kegiatan yang beraneka ragam dalam mempelajari materi pembelajaran, (3) praktek pembelajaran yang memberikan kebebasan kepada peserta didik memilih materi pembelajaran sesuai dengan minat dan pilihannya, serta memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk melakukan proses mempelajari materi pembelajaran tersebut.

Pada kelompok pertama, guru berperan sebagai penyampai materi pelajaran. Guru biasanya berdiri di depan kelas, menghadapi sejumlah peserta didik, dan menjelaskan isi pelajaran. Sesekali mungkin ada peserta didik yang bertanya atau meminta penjelasan dan guru mengulangi penjelasannya sebagai jawaban. Peserta didik pada umumnya duduk dengan rapi, mendengarkan keterangan guru, atau sedikit mencatat keterangan itu. Adapun yang dijelaskan, diterima sebagai pengetahuan yang harus dimiliki, kemudian dihafalkan, agar kelak bisa menjawab dengan baik apabila diadakan ulangan. Situasi ini disebut sebagai pengajaran.

Pada kelompok kedua, ada sebagian guru yang mengajar dengan menciptakan situasi dan kondisi belajar yang memungkinkan peserta didik dapat memperoleh pengalaman belajar sesuai dengan tujuan. Oleh karena tujuan yang hendak dicapai beraneka ragam, maka situasi pembelajaran pun beraneka ragam. Jika tujuan pembelajaran menghendaki peserta didik mengetahui sesuatu, tentu saja proses pembelajarannya sederhana. Jika tidak hanya sekedar mengetahui, akan tetapi memiliki kemampuan yang lebih jauh, seperti memahami, atau menerapkan suatu konsep dalam berbagai keadaan, atau memiliki bentuk-bentuk keterampilan tertentu disesuaikan dengan tuntutan pencapaian tujuan tersebut, maka proses itulah yang disebut dengan pembelajaran.

Pada kelompok ketiga, guru berperan sebagai pembimbing belajar, namun, proses pemberian bimbingan bersifat lebih bebas, tanpa mengarahkan. Peserta didik berupaya sendiri memenuhi kebutuhan mengenai apa yang ingin dipelajari. Peserta didik bebas memilih materi pembelajaran yang akan dipelajari, serta bagaimana cara mempelajarinya. Guru mengikuti saja kemauan peserta didik dalam belajar. Tujuan pembelajaran tidak ditentukan terlebih dahulu oleh guru, melainkan disesuaikan dengan keinginan setiap peserta didik. Secara umum, proses pembelajaran ini dimaksudkan untuk membina kematangan pribadi setiap peserta didik sesuai dengan kemampuan dasar dan minatnya masing-masing. Situasi seperti ini disebut pua sebagai pembelajaran.


Sumber:
Sumiati & Asra. 2009. Metode Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.

KONSEP DASAR PENDIDIKAN

Pendidikan merupakan upaya yang dapat mempercepat pengembangan potensi manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan kepadanya, karena hanya manusia yang dapat dididik dan mendidik. Pendidikan dapat mempengaruhi perkembangan fisik, mental, emosional, moral, serta keimanan dan ketakwaan manusia.

Pendidikan merupakan proses di mana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk perilaku lainnya dalam masyarakat di mana dia hidup. Pendidikan juga merupakan proses sosial di mana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (sekolah), sehingga mereka dapat memperoleh dan mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum.

Dari beberapa pokok pikiran di atas, dapat digarisbawahi bahwa pendidikan berhubungan dengan: (1) proses aktivitas atau kegiatan yang menekankan adanya kekuatan pertama dari pihak individu yang memiliki potensi untuk berkembang yang berbeda dari insting pada binatang yang dalam perkembangannya tidak sepesat dan setinggi yang dialami oleh manusia. Dengan kata lain, adanya potensi individu untuk berkembang sebagai reaksi adanya rangsangan intervensi dari dunia di luar individu yang disebut dengan pendidikan, (2) proses datang dari kedua belah pihak, individu yang memiliki potensi untuk berkembang dan dari pihak luar individu yang memiliki potensi untuk mempengaruhi perkembangan individu secara interaktif. Pengaruh dari luar individu sangat intensif, bervariasi, dan jauh melampaui batas yang tak terhingga, (3) proses yang datang dari individu (potensi) sama kuatnya dengan yang datang dari luar individu (lingkungan/environment).

Pendidikan dapat dinyatakan sebagai suatu sistem dengan komponen yang saling berhubungan dan mempengaruhi, antara lain: (1) individu peserta didik yang memiliki potensi dan kemauan untuk berkembang dapat dikembangkan semaksimal mungkin, (2) individu peserta didik mewakili unsur upaya sengaja, terencana, efektif, efisien, produktif, dan kreatif, (3) hubungan antara peserta didik dan pendidik dapat dinyatakan sebagai situasi pendidikan yang menjadi landasan tempat berpijak, (4) struktur sosiokultural yang mewakili lingkungan (environment) berupa norma yang bersumber dari alam, budaya, atau religi, dan (5) tujuan yang disepakati bersama mengejawantah hubungan antara pendidik dan peserta didik dan tidak bertentangan dengan tuntutan normatif sosiokultural di mana pendidikan tersebut tumbuh dan berkembang.

Disadur dari:
Udin Syaefudin Sa’ud & Abin Syamsuddin Makmun. 2009. Perencanaan Pendidikan . Bandung: Remaja Rosdakarya.

EVALUASI PERENCANAAN PEMBELAJARAN

Komponen evaluasi sangat penting artinya untuk menilai apakah perencanaan dan proses pembelajaran berjalan secara optimal. Hasil evaluasi dapat memberi petunjuk kepada kita apakah sasaran yang ingin dituju dapat tercapai atau tidak. Dengan demikian dapatlah diperoleh umpan balik mengenai proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Umpan balik digunakan sebagai dasar perbaikan-perbaikan yang diperlukan. Mengevaluasi dilakukan terhadap seluruh komponen, baik tujuan, materi, metode, maupun proses evaluasi itu sendiri.

Evaluasi terhadap tujuan berkaitan dengan kelayakannya sebagai sasaran maupun arah yang hendak dituju. Karena tujuan mempunyai landasan, patut dipertanyakan, apakah dalam menentukan tujuan digunakan landasan yang kokoh. Tujuan itu juga merupakan harapan dan keinginan, patut pula dipertanyakan dalam hal ini, apakah filosofi yang dijadikan sebagai landasan, apakah keinginan bersumber dari harapan masyarakat (restrictions) atau hanya merupakan rancangan pembelajaran saja. Apakah harapan itu bisa dicapai, atau hanya sekedar harapan yang muluk-muluk dan indah dalam pendengaran saja. Hambatan apa saja yang sekiranya muncul dalam mencapai tujuan tersebut.

Sebagaimana dengan tujuan, jenis pengalaman belajar yang dijadikan materi perencanaan pembelajaran pun perlu dilakukan evaluasi. Evaluasi itu tentunya didasarkan kepada kesesuaian materi pembelajaran dengan landasan psikologi baik belajar maupun perkembangan individu. Materi pembelajaran yang tidak sesuai dengan tujuan tidak dapat diharapkan memberi bekal pengalaman belajar yang berarti sebagaimana diharapkan oleh pembuat tujuan. Demikian halnya ketidaksesuaian dengan prinsip psikologi, menyebabkan tidak dapat terjadi perubahan perilaku yang optimal.

Proses pembelajaran tergantung pada metode yang digunakan dalam pembelajaran itu sendiri. Di sini, pertanyaan utama perlu digunakan, yaitu mengenai konsep pendidikan itu sendiri. Apakah pendidikan hanya berfungsi mewariskan kebudayaan, mentransformasi kebudayaan, atau perkembangan individu. Ini akan mewarnai bentuk penyelenggaraan pendidikan dalam mencapai tujuan. Evaluasi dalam hal ini dilakukan dengan maksud mengetahui sampai sejauh mana proses dapat memberikan hasil berupa perubahan perilaku secara optimal.

Mengenai evaluasi itu sendiri, kita dapat melakukan evaluasi terhadap prosedur, teknik, serta materi permbelajaran yang dievaluasi. Karena ketiga hal itu mewarnai hasil evaluasi yang diakukan, baik mengenai validitas (kesahihan), reliabilitas (keterandalan), signifikansi, maupun obyektifitas. Di samping itu, oleh karena dampak pendidikan bukan hanya dirasakan oleh peserta didik, atau sekolah semata-mata, maka evaluasi sepatunya bukan hanya dilakukan oleh sekolah, tetapi juga oleh para pemakai lulusan.

Apabila kita mengkaji makna dari uraian di atas, ternyata evaluasi perencanaan pembelajaran harus dilakukan secara komprehensif. Oleh karena perencanaan pembelajaran merupakan kesatuan yang terdiri dari berbagai komponen di mana antara satu komponen dengan komponen yang lain saling berhubungan dan berinteraksi, maka dari itu tidak dapat dilakukan evaluasi terhadap satu bagian saja. Hasil interaksi antarkomponen dalam perencanaan pembelajaran akan tampak pada terjadinya perubahan tingkah laku pada diri peserta didik. Berangkat dari hal tersebut, sasaran evaluasi dapat dibedakan menjadi 2 hal, yaitu: (1) evaluasi terhadap proses dari perencanaan pembelajaran, (2) evaluasi terhadap hasil dari perencanaan pembelajaran.

Kedua macam evaluasi tersebut sangatlah penting dalam rangka selalu melakukan peninjauan kembali (revisi) terhadap efektivitas perencanaan pembelajaran sehingga mencapai hasil yang optimal. Evaluasi proses bertujuan menilai sampai sejauh mana perencanaan pembelajaran dapat memberikan pengalaman belajar sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Evaluasi proses menilai apakah proses itu berjalan optimal sehingga memungkinkan tercapainya tujuan. Evaluasi proses dalam pelaksanaan, lebih cenderung dilakukan menggunakan prinsip-prinsip penelitian (research). Jenis penelitian yang dapat diterapkan di sini terutama adalah penelitian tindakan (action research) dan penelitian evaluasi (evaluation research). Biasanya penelitian dilakukan oleh para ahli untuk mencari umpan balik dari suatu proses perencanaan pembelajaran. Sedangkan yang berhubungan dengan tugas guru rutin dapat dilakukan evaluasi hasil yang juga dapat dijadikan umpan balik.


Sumber:
Lukmanul Hakiim. 2009. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.